Umum

70

Tugas Dan Wewenang

Tugas Pokok dan Fungsi Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Tugas, wewenang dan Kewajiban KPU Kabupaten/Kota sebagai berikut : (1) Tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah meliputi: menjabarkan program dan melaksanakan anggaran serta menetapkan jadwal di kabupaten/kota; melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan di kabupaten/kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya; mengoordinasikan dan mengendalikan tahapan penyelenggaraan oleh PPK, PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya; menyampaikan daftar pemilih kepada KPU Provinsi; memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan data Pemilu dan/atau pemilihan gubernur, bupati, dan walikota terakhir dan menetapkannya sebagai daftar pemilih; menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di PPK dengan membuat berita acara rekapitulasi suara dan sertifikat rekapitulasi suara; melakukan dan mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi di kabupaten/kota yang bersangkutan berdasarkan berita acara hasil rekapitulasi penghitungan suara di PPK; membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat penghitungan suara serta wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi; menerbitkan keputusan KPU Kabupaten/Kota untuk mengesahkan hasil Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan mengumumkannya; mengumumkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota terpilih sesuai dengan alokasi jumlah kursi setiap daerah pemilihan di kabupaten/kota yang bersangkutan dan membuat berita acaranya; menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Panwaslu Kabupaten/Kota; mengenakan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota PPK, anggota PPS, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan rekomendasi Panwaslu Kabupaten/Kota dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan; menyelenggarakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota kepada masyarakat; melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu; dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan/atau peraturan perundang-undangan. (2) Tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden meliputi: menjabarkan program dan melaksanakan anggaran serta menetapkan jadwal di kabupaten/kota; melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan di kabupaten/kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya; mengoordinasikan dan mengendalikan tahapan penyelenggaraan oleh PPK, PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya; memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan data Pemilu dan/atau pemilihan gubernur, Bupati, dan Walikota terakhir dan menetapkannya sebagai daftar pemilih; menyampaikan daftar pemilih kepada KPU Provinsi; melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Kabupaten/Kota yang bersangkutan berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di PPK dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara; membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat penghitungan suara serta wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi; menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Panwaslu Kabupaten/Kota atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran Pemilu; mengenakan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota PPK, anggota PPS, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan rekomendasi Panwaslu Kabupaten/Kota dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan; melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota kepada masyarakat; melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu; dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan/atau peraturan perundang-undangan. (3) Tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota meliputi: merencanakan program, anggaran, dan jadwal pemilihan bupati/walikota; menyusun dan menetapkan tata kerja KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam pemilihan Bupati/Walikota dengan memperhatikan pedoman dari KPU dan/atau KPU Provinsi; menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan Bupati/Walikota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam pemilihan gubernur serta pemilihan bupati/walikota dalam wilayah kerjanya; mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan pedoman dari KPU dan/atau KPU Provinsi; menerima daftar pemilih dari PPK dalam penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota; memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan data pemilu dan/atau pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota terakhir dan menetapkannya sebagai daftar pemilih; menerima daftar pemilih dari PPK dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur dan menyampaikannya kepada KPU Provinsi; menetapkan calon Bupati/Walikota yang telah memenuhi persyaratan; menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara pemilihan Bupati/Walikota berdasarkan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh PPK di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan; membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta pemilihan, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi; menerbitkan keputusan KPU Kabupaten/Kota untuk mengesahkan hasil pemilihan Bupati/Walikota dan mengumumkannya; mengumumkan calon Bupati/Walikota terpilih dan dibuatkan berita acaranya; melaporkan hasil pemilihan Bupati/Walikota kepada KPU melalui KPU Provinsi; menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Panwaslu Kabupaten/Kota atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran pemilihan; mengenakan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota PPK, anggota PPS, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilihan berdasarkan rekomendasi Panwaslu Kabupaten/Kota dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan; melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan/atau yang berkaitan dengan tugas KPU Kabupaten/Kota kepada masyarakat; melaksanakan tugas dan wewenang yang berkaitan dengan pemilihan gubernur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan pedoman KPU dan/atau KPU Provinsi; melakukan evaluasi dan membuat laporan penyelenggaraan pemilihan Bupati/Walikota; menyampaikan hasil pemilihan Bupati/Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Menteri Dalam Negeri, Bupati/Walikota, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota; dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan/atau yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) KPU Kabupaten/Kota dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota berkewajiban: melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu dengan tepat waktu; memperlakukan peserta Pemilu dan pasangan calon presiden dan wakil presiden, calon gubernur, bupati, dan walikota secara adil dan setara; menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu kepada masyarakat; melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; menyampaikan laporan pertanggungjawaban semua kegiatan penyelenggaraan Pemilu kepada KPU melalui KPU Provinsi; mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh KPU Kabupaten/Kota dan lembaga kearsipan Kabupaten/Kota berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh KPU dan ANRI; mengelola barang inventaris KPU Kabupaten/Kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; menyampaikan laporan periodik mengenai tahapan penyelenggaraan Pemilu kepada KPU dan KPU Provinsi serta menyampaikan tembusannya kepada Bawaslu; membuat berita acara pada setiap rapat pleno KPU Kabupaten/Kota dan ditandatangani oleh ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota; menyampaikan data hasil pemilu dari tiap-tiap TPS pada tingkat kabupaten/kota kepada peserta pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah rekapitulasi di Kabupaten/Kota; melaksanakan keputusan DKPP; dan melaksanakan kewajiban lain yang diberikan KPU, KPU Provinsi dan/atau peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 06 Tahun 2008 tentang Susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum, Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Provinsi Dan Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota. Tugas, fungsi dan wewenang sekretariat KPU Kabupaten/Kota meliputi: 1. Sekretariat KPU Kabupaten/Kota bertugas: a. Membantu penyusunan program dan anggaran Pemilu; b. Memberikan dukungan teknis administratif; c. Membantu pelaksanaan tugas KPU Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan Pemilu; d. Membantu pendistribusian perlengkapan penyelenggaraan Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan gubernur; e. Membantu perumusan dan penyusunan rancangan keputusan KPU Kabupaten/Kota; f. Memfasilitasi penyelesaian masalah dan sengketa pemilihan bupati/walikota; g. Membantu penyusunan laporan penyelenggaraan kegiatan dan pertanggungjawaban KPU Kabupaten/Kota; dan h. Membantu pelaksanaan tugas-tugas lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Sekretariat KPU Kabupaten/Kota menyelenggarakan fungsi: Membantu penyusunan program dan anggaran Pemilu di Kabupaten/Kota; Memberikan pelayanan teknis pelaksanaan Pemilu di Kabupaten/Kota; Memberikan pelayanan administrasi yang meliputi ketatausahaan, kepegawaian, anggaran, dan perlengkapan Pemilu di Kabupaten/Kota; Membantu perumusan dan penyusunan rancangan keputusan KPU Kabupaten/Kota; Membantu perumusan, penyusunan dan memberikan bantuan hukum serta memfasilitasi penyelesaian sengketa Pemilu di Kabupaten/Kota; Membantu pelayanan pemberian informasi Pemilu, partisipasi dan hubungan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu di Kabupaten/Kota; Membantu pengelolaan data dan informasi Pemilu di Kabupaten/Kota; Membantu pengelolaan logistik dan distribusi barang/jasa keperluan Pemilu di Kabupaten/Kota; Membantu penyusunan kerjasama antar lembaga di Kabupaten/Kota; Membantu penyusunan laporan penyelenggaraan Pemilu dan pertanggungjawaban KPU Kabupaten/Kota. 3. Sekretariat KPU Kabupaten/Kota berwenang: Mengadakan dan mendistribusikan perlengkapan penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kebutuhan yang ditetapkan oleh KPU; Mengadakan perlengkapan penyelenggaraan Pemilu sebagaimana dimaksud pada huruf a sesuai dengan peraturan perundang-undangan; Memberikan layanan administrasi, ketatausahaan, dan kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 4.    Sekretariat KPU Kabupaten/Kota berkewajiban: a.     Menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan; b.    Memelihara arsip dan dokumen Pemilu; c.     Mengelola barang inventaris KPU Kabupaten/Kota. 5.    Sekretariat KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab dalam hal administrasi keuangan serta pengadaan barang dan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan. Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi diatas KPU Kabupaten Wajo terdiri atas 4 Sub Bagian antara lain: Sub bagian Program dan Data Subbagian Program dan Data mempunyai tugas mengumpulkan dan mengolah bahan rencana, program, anggaran pembiayaan kegiatan tahapan Pemilu. Sub bagian Hukum Subbagian Hukum mempunyai tugas melaksanakan inventarisasi, pengkajian, dan penyelesaian sengketa hukum, penyuluhan peraturan yang berkaitan dengan Pemilu, dan penyiapan verifikasi faktual peserta Pemilu, serta administrasi keuangan , dan dana kampanye. Sub bagian Teknis dan Hubungan Partisipasi Masyarakat. Subbagian Teknis dan Hubungan Partisipasi Masyarakat mempunyai tugas mengumpulkan dan mengolah bahan teknis penyelenggaraan Pemilu dan proses administrasi dan verifikasi, penggantian antar waktu anggota DPRD Kabupaten/Kota, pengisian anggota DPRD Kabupaten/Kota pasca Pemilu, penetapan daerah pemilihan dan pencalonan, dan penetapan calon terpilih Pemilu anggota DPRD Provinsi, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, penyuluhan, bantuan, kerjasama antar lembaga, melaksanakan pelayanan informasi, serta pendidikan pemilih. Sub bagian Keuangan, Umum dan Logistik. Subbagian Keuangan, Umum, dan Logistik mempunyai tugas mengumpulkan dan mengolah bahan pelaksanaan anggaran, perbendaharaan, verifikasi, dan pembukuan pelaksanaan anggaran, pelaksanaan urusan rumah tangga, perlengkapan, keamanan dalam, tata usaha, pengadaan logistik Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, distribusi logistik Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, kepegawaian, serta dokumentasi.


Selengkapnya
1363

Pemilu 1955

PEMILIHAN UMUM TAHUN 1955 DASAR HUKUM UU Nomor 7/1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan anggota DPR sebagaimana diubah dengan UU Nomor 18/1953. PP Nomor 9/1954 tentang Menyelenggarakan undang-undang Pemilu. PP Nomor 47/1954 tentang Cara Pencalonan Keanggotaan DPR/Konstituante oleh Anggota Angkatan Perang dan Pernyataan Non Aktif/Pemberhantian berdasarkan penerimaan keanggotaan pencalonan keanggotaan tersebut, maupun larangan mengadakan Kampanye Pemilu terhadap Anggota Angkatan Perang.   SISTEM PEMILU Sistem Pemilu tahun 1955 adalah kombinasi antara sistem distrik dan sistem perwakilan berimbang dengan ciri-ciri sebagai berikut. Sistem Distrik, pertama wilayah negara dibagi atas distrik-distrik pemilihan, yang didasari pada jumlah penduduk, kedua jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditetapkan sama dengan jumlah distrik, ketiga tiap distrik pemilihan , meilih seorang anggota badan perwakilan rakyat , keempat pemilih, memilih orang atau calon yang diajukan organisasi peserta Pemilu, Kelima penetapan terpilih berdasarkan suara terbanyak. Sistem Perwakilan Berimbang, pertama wilayah negara ditetapkan sebagai satu daerah pemilihan, namun dalam pelaksanannya dapat dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang bersifat administratif, kedua jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditetapkanberdasarkan imbangan jumlah penduduk, misalnya tiap 4000.000 penduduk mempunyai seorang wakil, ketiga tiap daerah pemilihan memilih lebih dari sorang wakil, keempat pemilih, memilih Organisasi Peserta Pemilu (OPP), namun demikian OPP mengajukan calon-calonnya yang disusun dalam satu daftar, kelima penetapan jumlah kursi yang akan diperoleh tiap organisasi peserta Pemilu seimbang dengan besarnya dukungan pemilih, yaitu jumlah suar yang diperoleh, keenam Calon terpilih diambilkan dari nama-nama yang terdapat dalam daftar calon, berdasarkan nomor urut calon, jika menganut sistim daftar mengikat dan perolehan suara masing-masing calon, jika dianut sistim daftar bebas. Sistim Kombinasi, merupakan penggabungan antara sistim distrik dan sistim perwakilan berimbang, misalnya jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk, kemudian sebagian besar dari anggota ditetapkan sebagai wakil distrik melalui pemilihan dengan sistim distrik dan sebagian kecil ditetapkan mewakili OPP, yang perhitungannya menggunakan OPP yang tidak memperolah wakil pada pemilihan dengan sistim distrik.   BADAN PENYELENGGARA PEMILU Untuk menyelenggarakan Pemilu dibentuk badan badan penyelenggara pemilihan, dengan berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und.Tanggal 23 April 1953 dan 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953, yaitu : Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) : mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR. Keanggotaan PPI sekurang-kurangnya 5 orang dan sebanyak-banyaknya 9 orang, dengan masa kerja 4 tahun. Panitia Pemilihan (PP) : dibentuk di setiap daerah pemilihan untuk membantu persiapan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. Susunan keanggotaan sekurang-kurangnya 5 orang anggota dan sebanyak-banyaknya 7 orang anggota, dengan masa kerja 4 tahun. Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) dibentuk pada tiap Kabupaten oleh Menteri Dalam Negeri yang bertugas membantu Panitia Pemilihan mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstitusnte dan anggota DPR. Panitia Pemungutan Suara (PPS) dibentuk di setiap Kecamatan oleh Menteri Dalam Negeri dengan tugas mensahkan daftar pemilih, membantu persiapan pemilihan anggota Konstitusnte dan anggota DPR serta menyelenggarakan pemungutan suara. Keanggotaan PPS sekurang-kurangnya 5 orang anggota dan Camat karena jabatannya menjadi ketua PPS merangkap anggota. Wakil Ketua dan anggota diangkat dan diberhentikan oleh Panitia Pemilihan Kabupaten atas nama Menteri Dalam Negeri.   PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM 1955 Ini merupakan Pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan Pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata Pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab. Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, Pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa Pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante. Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan Pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan. Tidak terlaksananya Pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal : Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain, para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan Pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan Pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf. Sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi. Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan Pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan Pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang Pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi. Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu, sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan Pemilu dengan segala cara. Karena Pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.   Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR. No. Partai / Nama Daftar Suara % Kursi 1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57 2. Masyumi 7.903.886 20,92 57 3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45 4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39 5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.091.160 2,89 8 6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1.003.326 2,66 8 7. Partai Katolik 770.740 2,04 6 8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5 9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 541.306 1,43 4 10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 483.014 1,28 4 11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2 12. Partai Buruh 224.167 0,59 2 13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 219.985 0,58 2 14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2 15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 200.419 0,53 2 16. Murba 199.588 0,53 2 17. Baperki 178.887 0,47 1 18. Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 178.481 0,47 1 19. Grinda 154.792 0,41 1 20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 149.287 0,40 1 21. Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1 22. PIR Hazairin 114.644 0,30 1 23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.131 0,22 1 24. AKUI 81.454 0,21 1 25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1 26. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 72.523 0,19 1 27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 64.514 0,17 1 28. R. Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1 29. Lain-lain 1.022.433 2,71 - Jumlah 37.785.299 100,00 257   Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut: Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante. No. Partai / Nama Daftar Suara % Kursi 1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 9.070.218 23,97 119 2. Masyumi 7.789.619 20,59 112 3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.333 18,47 91 4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.232.512 16,47 80 5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.059.922 2,80 16 6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 988.810 2,61 16 7. Partai Katolik 748.591 1,99 10 8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10 9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 544.803 1,44 8 10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 465.359 1,23 7 11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3 12. Partai Buruh 332.047 0,88 5 13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 152.892 0,40 2 14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 134.011 0,35 2 15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 179.346 0,47 3 16. Murba 248.633 0,66 4 17. Baperki 160.456 0,42 2 18. Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 162.420 0,43 2 19. Grinda 157.976 0,42 2 20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 164.386 0,43 2 21. Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3 22. PIR Hazairin 101.509 0,27 2 23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 74.913 0,20 1 24. AKUI 84.862 0,22 1 25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1 26. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 143.907 0,38 2 27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 55.844 0,15 1 28. R. Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1 29. Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1 30. Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1 31. Radja Keprabonan 33.660 0,09 1 32. Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI) 39.874 0,11   33. PIR NTB 33.823 0,09 1 34. L.M. Idrus Effendi 31.988 0,08 1   lain-lain 426.856 1,13   Jumlah 37.837.105   514   Periode Demokrasi Terpimpin. Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan Pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree. Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden. Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden. Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.


Selengkapnya
1292

Pemilu 1971

PEMILIHAN UMUM TAHUN 1971 DASAR HUKUM Pemilu tahun 1971 didasari pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Untuk Anggota-anggota DPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II diselenggarakan secara Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Azas Pemilihan Umum 1971 tercantum dalam ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 menetapkan Pemilihan Umum bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia. Dalam rangka pemungutan suara dikeluarkan ketetapam MPRSNomor XLII/MPRS/1968 tentang jadwal waktu pemungutan suara yang dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 1971.   SISTEM PEMILU Sistim Pemilu tahun 1971 menganut sistim perwakilan berimbang dengan menganut sisiem stelsel daftar mengikat, artinya besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD, berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih  memberikan suaranya kepada Organisasi Peserta Pemilu.   BADAN PENYELENGGARA PEMILU Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970 diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. LPU keanggotaannya terdiri dari Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan dan Sekretariat Umum.   PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM 1971 Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Soekarno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan Pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai pejabat presiden, Soeharto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Soekarno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya, Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno. UU yang diadakan adalah UU tentang Pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun. Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu. Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma. Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar. Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini. No. Partai Suara % Kursi 1. Golkar 34.348.673 62,82 325 2. NU 10.213.650 18,68 89 3. Parmusi 2.930.746 5,36 11 4. PNI 3.793.266 6,93   5. PSII 1.308.237 2,39   6. Parkindo 733.359 1,34   7. Katolik 603.740 1,10   8. Perti 381.309 0,69   9. IPKI 338.403 0,61   10. Murba 48.126 0,08   Jumlah 54.669.509 100,00 360 Sekadar untuk perbandingan, seandainya pembagian kursi perolehan suara partai-partai pada Pemilu 1971 dilakukan dengan sistem kombinasi sebagaimana digunakan dalam Pemilu 1955, dengan mengabaikan stembus accoord 4 partai Islam yang mengikuti Pemilu 1971, hasilnya akan terlihat seperti pada tabel di bawah ini. Pembagian Kursi Hasil Pemilu 1971 Seandainya Menggunakan Sistem Kombinasi (hipotetis) No. Partai Jumlah Suara Secara Nasional Jumlah Kursi Pada Pembagian Pertama Sisa Suara Setelah Pembagian Pertama Perolehan pada Pembagian Kursi Sisa Pertama Jumlah Sisa Suara Setelah Pembagian Kursi Sisa Kursi Atas Suara Terbesar Jumlah Kursi 1 Golkar 34.339.708 214 1.342.084 11 81.770 (III) 1 226 2 NU 10.201.659 48 1..323.245 11 62.931 - 59 3 PNI 3.793.266 16 908.061 7 106.043 (II) 1 24 4 Parmusi 2.930.919 10 1.389.435 12 14.547   22 5 PSII 1.257.056 1 1.039.280 9 8.000 - 10 6 Parkindo 697.618 1 628.752 5 53.882 - 6 7 Katolik 603.740 2 412.428 3 68.706 (IV) 1 6 8 Perti 380.403 2 180.240 1 65.666 (V) 1 4 9 IPKI 338.376 - 338.376 2 109.228 (I) 1 3 10 Murba 47.800 - 47.800 - 47.800 - -   Jumlah 54.669.509 294 7.561.901 61   5 360   Catatan: Hasil pembagian pertama yang diperoleh partai-partai sebagaimana terlihat dalam lajur 4 (empat) sesuai dengan hasil bagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan masing-masing. Sedangkan hasil pembagian kursi sisa pada lajur 6 (enam) merupakan hasil bagi sisa suara masing-masing partai dengan kiestquotient nasional 114.574 (7.561.901:66). Hasil pada lajur 8 (delapan) berdasarkan sisa suara terbesar atau terbanyak karena masih tersisa 7 kursi lagi. Dengan cara pembagian kursi seperti Pemilu 1955 itu, hanya Murba yang tidak mendapat kursi, karena pada pembagian kursi atas dasar sisa terbesar pun perolehan suara partai tersebut tidak mencukupi. Karena peringkat terbawah sisa suara terbesar adalah 65.666. PNI memperoleh kursi lebih banyak dari Parmusi, karena suaranya secara nasional di atas Parmusi.


Selengkapnya
1350

Pemilu 1977-1997

PEMILIHAN UMUM TAHUN 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 DASAR HUKUM Dasar Hukum Pemilu Tahun 1977: Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara bidang politik, Aparatur Pemerintah, Hukum dan Hubungan Luar Negeri. Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum. Undang-undang nomor 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah. Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dasar Hukum Pemilu Tahun 1982: Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dan  Ketatapan MPR Nomor VII/MPR/1978 Tentang Pemilu. Undang-undang Nomor 2  Tahun 1980 tentang Pemilihan Umum. Peraturan Pemerintah  Nomor 41 Tahun 1980 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1976. Dasar Hukum Pemilu Tahun 1987: Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN dan Ketapan MPR Nomor III/MPR/1983 Tentang Pemilu. Undang-undang Nomor 2  Tahun 1980 tentang Pemilihan Umum. Peraturan Pemerintah  Nomor 41 Tahun 1980 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1976. Dasar Hukum Pemilu Tahun 1992: Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN dan Ketapan MPR Nomor III/MPR/1988 Tentang Pemilu. Undang-undang Nomor 2  Tahun 1980 tentang Pemilihan Umum. Peraturan Pemerintah  Nomor 35 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1990. Dasar Hukum Pemilu Tahun 1997: Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dan Ketapan MPR Nomor III/MPR/1993 Tentang Pemilu. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pemilihan Umum. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1985. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1996.   SISTEM PEMILU Sistim Pemilu tahun 1977 hingga 1997 memilih DPR dan DPRD menganut sistim proporsional dengan Stelsel Daftar yang diikuti hanya 3 partai politik, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia.   BADAN PENYELENGGARA PEMILU Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970 diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. LPU keanggotaannya terdiri dari Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan dan Sekretariat Umum. LPU ini dibawah Departemen Dalam Negeri. Struktur organisasi penyelenggara di Pusat  Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), di Provinsi Panitia Pemilihan Daerah Tingklat I (PPD I), di Kabupaten/Kotamadya Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II dan di Kecamatan Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di Desa/Kelurahan disebut Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), bagi warga negara RI di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) dan mulai Pemilu 1982 dibentuk juga Panitia Pengawas Pelaksana Pemilu (Panwaslak Pemilu).   PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.   Hasil Pemilu 1977 Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971. Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5. PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini. No. Partai Suara % Kursi % (1971) Keterangan 1. Golkar 39.750.096 62,11 232 62,80 - 0,69 2. PPP 18.743.491 29,29 99 27,12 + 2,17 3. PDI 5.504.757 8,60 29 10,08 - 1,48 Jumlah 63.998.344 100,00 360 100,00     Hasil Pemilu 1982 Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971. No. Partai Suara DPR % Kursi % (1977) Keterangan 1. Golkar 48.334.724 64,34 242 62,11 + 2,23 2. PPP 20.871.880 27,78 94 29,29 - 1,51 3. PDI 5.919.702 7,88 24 8,60 - 0,72 Jumlah 75.126.306 100,00 364 100,00     Hasil Pemilu 1987 Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini. No. Partai Suara % Kursi % (1982) Keterangan 1. Golkar 62.783.680 73,16 299 68,34 + 2,23 2. PPP 13.701.428 15,97 61 27,78 - 1,51 3. PDI 9.384.708 10,87 40 7,88 - 0,72 Jumlah 85.869.816 100,00 400       Hasil Pemilu 1992 Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya. PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka'bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional. Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI. No. Partai Suara % Kursi % (1987) Keterangan 1. Golkar 66.599.331 68,10 282 73,16 + 2,23 2. PPP 16.624.647 17,01 62 15,97 - 1,51 3. PDI 14.565.556 14,89 56 10,87 - 0,72 Jumlah 97.789.534 100,00 400 100,00     Hasil Pemilu 1997 Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar. Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992. No. Partai Suara % Kursi % (1992) Keterangan 1. Golkar 84.187.907 74,51 325 68,10 + 2,23 2. PPP 25.340.028 22,43 89 17,00 - 1,51 3. PDI 3.463.225 3,06 11 14,90 - 0,72 Jumlah 112.991.150 100,00 425 100,00     Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.


Selengkapnya
1362

Pemilu 1999

PEMILIHAN UMUM TAHUN 1999 DASAR HUKUM Pasal 22E UUD 1945 (Amandemen) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.*** ) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.*** ) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.*** ) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.*** ) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.***) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.*** Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum (menetapkan Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelanggara pemilihan umum yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai politik peserta pemilihan umum dan wakil pemerintah) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.   SISTEM PEMILU Sistem pemilu masih sama yaitu sistem proporsional, hanya saja penetapan calon terpilih dalam Pemilu kali ini berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni dengan rangking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Untuk Presiden dan Wakil Presiden masih sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya yaitu dipilih di MPR.   BADAN PENYELENGGARA PEMILU Komisi Pemilihan Umum (KPU) pertama kali dibentuk oleh Presiden untuk melaksanakan Pemilihan Umum Tahun 1999. Organisasi penyelenggara mulai dari pusat KPU dan PPI sampai daerah (PPD I, PPD II, PPK, PPS, KPPS, PPLN, PPSLN, KPPSLN) yang keanggotaannya terdiri dari wakil-wakil parpol peserta Pemilu ditambah beberapa orang wakil dari Pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat. Sedangkan pengawasan dilakukan oleh Panitia Pengawas Pelaksana Pemilu (Panwaslak Pemilu).   PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai. Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.   Hasil Pemilu 1999 Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara. Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut: Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999. No. urut Nama partai 1. Partai Keadilan 2. PNU 3. PBI 4. PDI 5. Masyumi 6. PNI Supeni 7. Krisna 8. Partai KAMI 9. PKD 10. PAY 11. Partai MKGR 12. PIB 13. Partai SUNI 14. PNBI 15. PUDI 16. PBN 17. PKM 18. PND 19 PADI 20. PRD 22. PID 23. Murba 24. SPSI 25. PUMI 26 PSP   Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999. Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa. Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord. Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997. Selengkapnya hasil perhitungan pembagian kursi itu seperti terlihat dalam tabel di bawah. No. Nama Partai Suara DPR Kursi Tanpa SA Kursi Dengan SA 1. PDIP 35.689.073 153 154 2. Golkar 23.741.749 120 120 3. PPP 11.329.905 58 59 4. PKB 13.336.982 51 51 5. PAN 7.528.956 34 35 6. PBB 2.049.708 13 13 7. Partai Keadilan 1.436.565 7 6 8. PKP 1.065.686 4 6 9. PNU 679.179 5 3 10. PDKB 550.846 5 3 11. PBI 364.291 1 3 12. PDI 345.720 2 2 13. PP 655.052 1 1 14. PDR 427.854 1 1 15. PSII 375.920 1 1 16. PNI Front Marhaenis 365.176 1 1 17. PNI Massa Marhaen 345.629 1 1 18. IPKI 328.654 1 1 19 PKU 300.064 1 1 20. Masyumi 456.718 1 - 22. PKD 216.675 1 - 23. PNI Supeni 377.137 - - 24. Krisna 369.719 - - 25. Partai KAMI 289.489 - - 26 PUI 269.309 - - 27. Partai Republik 328.564 - - 28. Partai MKGR 204.204 - - 29. PIB 192.712 - - 30. Partai SUNI 180.167 - - 31. PCD 168.087 - - 32. PSII 1905 152.820 - - 33. Masyumi Baru 152.589 - - 34. PNBI 149.136 - - 35. PUDI 140.980 - - 36. PBN 140.980 - - 37. PKM 104.385 - - 38. PND 96.984 - - 39. PADI 85.838 - - 40. PRD 78.730 - - 41. PPI 63.934 - - 42. PID 62.901 - - 43. Murba 62.006 - - 44. SPSI 61.105 - - 45. PUMI 49.839 - - 46 PSP 49.807 - - 47. PARI 54.790 - - 48. PILAR 40.517 - - Jumlah 105.786.661 462 462 Catatan: Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau 9,17 persen dari suara yang sah. Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara sah. Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.   Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terba-nyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon, sebut saja si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada Pemilu 1971. Bagaimanapun penyelenggaraan Pemilu-pemilu tersebut merupakan pengalaman yang berharga. Sekarang, apakah pengalaman itu akan bermanfaat atau tidak semuanya sangat tergantung pada penggunaannya untuk masa-masa yang akan datang. Pemilu yang paling dekat adalah Pemilu 2004. Pengalaman tadi akan bisa dikatakan berharga apabila Pemilu 2004 nanti memang lebih baik daripada Pemilu 1999. Pemilu 1999 untuk banyak hal telah mendapat pujian dari berbagai pihak. Dengan pengalaman tersebut, sudah seharusnyalah kalau Pemilu 2004 mendatang lebih baik lagi.


Selengkapnya
1406

Pemilu 2004

PEMILIHAN UMUM TAHUN 2004 DASAR HUKUM UU Nomor 20 tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Menjadi Undang-Undang UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik.   SISTEM PEMILU Ada 2 macam Pemilu, yaitu Pemilu DPR, DPD dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu DPR dan DPRD menggunakan sistem proporsional terbuka, Sedangkan untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggunakan sistem distrik berwakil banyak. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih MPR, tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu 2004 dilaksanakan dengan sistem yang berbeda dari Pemilu-Pemilu sebelumnya. Perbedaan tersebut pada sistem pemilihan DPR dan DPRD dan sistem pemilihan DPD, serta pemilihan presiden-wakil presiden yang dilakukan secara langsung dan bukan lagi melalui anggota MPR seperti pemilu sebelumnya, bahkan bisa hingga putaran kedua. Selain itu, penyelenggaraan pemilu juga bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pemilu untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar calon terbuka.  Partai politik akan mendapatkan kursi sejumlah suara sah yang diperolehnya. Perolehan kursi ini akan diberikan kepada calon yang memenuhi atau melebihi nilai BPP. Apabila tidak ada, maka kursi akan diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut. Pemilu untuk memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.   BADAN PENYELENGGARA PEMILU Komisi Pemilihan Umum (KPU) pertama kali bertugas sebagai penyelenggaraan pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, karena seluruh anggota KPU tidak ada dari unsur partai politik dan pemerintah. Organisasi penyelenggara mulai dari pusat KP, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, PPSLN, KPPSLN yang keanggotaannya terdiri dari perwakilan akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat. Pada Pemilu 2004 ini juga pertama kali pengawasan dilakukan lembaga yang bernama Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan kode etik oleh lembaga Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU).   PELAKSANAAN PEMILU Pemilihan kali ini merupakan pemilihan yang diikuti banyak partai. Ada dua macam pemilihan umum, yang pertama pemilihan untuk memilih anggota parlemen yang partainya memenuhi parliamentary threshold. Saat itu, pemilu diikuti oleh 24 partai politik dan diselenggarakan pada 5 April 2004. Yang kedua, melakukan pemilihan presiden yang diikuti oleh lima pasanga calon. Namun, tidak disangka pada pemilihan calon presiden tahun 2004 dilakukan dua putaran. Putaran pertama dilakukan pada 5 Juli 2004, sedangkan putaran kedua dilakukan pada 20 September 2004. Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama yang memungkinkan rakyat memilih langsung wakil mereka untuk duduk di DPR, DPD, dan DPRD serta memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 Anggota DPR, 128 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2004-2009 diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004 (putaran II). Pemilu Legislatif Tahun 2004 termasuk pemilu paling rumit hal ini dikarenakan penduduk Indonesia harus memilih langsung wakil rakyat di DPR, DPD dan DPRD. Pemilihan Umum Tahun 2004 untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009. Selain Pemilu Legislatif, di tahun 2004 ini juga diselenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bakti 2004 – 2009 pada tanggal 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004 (putaran II). Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota DPR 2004. Untuk dapat mengusulkan, partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh sekurang-kurangnya 5% suara secara nasional atau 3% kursi DPR. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia, akan ditetapkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Apabila tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung (Putaran II) dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak akan ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.   Peserta Pemilu Legislatif 2004 Partai Golongan Karya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa Partai Persatuan Pembangunan Partai Demokrat Partai Keadilan Sejahtera Partai Amanat Nasional Partai Bulan Bintang Partai Bintang Reformasi Partai Damai Sejahtera Partai Karya Peduli Bangsa Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan Partai Patriot Pancasila Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Partai Pelopor Partai Penegak Demokrasi Indonesia Partai Merdeka Partai Sarikat Indonesia Partai Perhimpunan Indonesia Baru Partai Persatuan Daerah Partai Buruh Sosial Demokrat   Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 Putaran I Sebanyak 6 pasangan calon mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum K. H. Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim (dicalonkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa) Prof. Dr. H. M. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo (dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional) Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. (dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan) Hj. Megawati Soekarnoputri dan K. H. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) H. Wiranto, SH. dan Ir. H. Salahuddin Wahid (dicalonkan oleh Partai Golongan Karya) Dari keenam pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, pasangan KH. Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim tidak lolos karena berdasarkan tes kesehatan, Abdurrahman Wahid dinilai tidak memenuhi kesehatan.   Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 Putaran II Hj. Megawati Soekarnoputri dan K. H. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia)


Selengkapnya